Dendam

Dendam sering dipahami sebagai emosi kotor, sesuatu yang harus disingkirkan, dibuang, atau bahkan dihindari sepenuhnya. Tapi siapa pun yang pernah benar-benar terluka tahu, bahwa dendam tidak datang begitu saja. Ia tumbuh pelan-pelan, dari rasa sakit yang tidak pernah diobati, dari amarah yang dipendam karena tidak tahu harus disalurkan ke mana, dan dari luka yang dibiarkan mengering tanpa pernah benar-benar sembuh.


Dendam bisa hidup diam-diam di dalam hati manusia. Ia tidak selalu meledak, tidak selalu berteriak, dan tidak selalu terlihat. Justru karena itulah ia berbahaya, karena ia bisa menetap, membusuk di dalam, dan suatu saat muncul kembali tanpa aba-aba. Sepuluh tahun bisa berlalu, kehidupan bisa berubah, tapi ketika luka itu teringat, rasanya seperti baru kemarin. Kita bisa kembali marah, kembali kecewa, dan kembali mempertanyakan, kenapa keadilan tidak pernah datang pada waktunya.


Yang lebih rumit lagi, dendam sering muncul dari mereka yang dekat. Bukan dari orang asing yang bisa kita lupakan, tapi dari sosok yang seharusnya memahami, menghargai, bahkan melindungi. Maka rasa sakitnya berlapis: bukan hanya karena kita disakiti, tapi karena kita dikhianati oleh harapan.


Dan tidak, memaafkan bukan hal yang mudah. Bukan sesuatu yang bisa terjadi dalam semalam. Bahkan terkadang, bukan sesuatu yang bisa kita capai sepenuhnya. Karena memaafkan bukan hanya tentang menghilangkan rasa sakit, tapi tentang menerima bahwa luka itu akan tetap ada, dan kita harus belajar hidup berdampingan dengannya.


Namun dalam semua kerumitan itu, ada satu hal yang layak dipahami: menyimpan dendam terlalu lama tidak membuat luka itu hilang, hanya membuatnya semakin dalam. Hidup terlalu berharga jika terus dijalani dalam kemarahan. Masih banyak hal yang bisa kita syukuri, masih banyak orang yang bisa menerima kita, dan masih banyak ruang untuk tumbuh. Bahkan jika luka itu belum sepenuhnya sembuh.


Mungkin tidak apa-apa jika kita belum bisa memaafkan hari ini. Mungkin tidak masalah jika sesekali kita masih merasa marah. Tapi yang paling penting adalah, kita tidak membiarkan dendam itu menentukan arah hidup kita. Karena pada akhirnya, kedewasaan bukan soal melupakan luka, tapi tentang tidak lagi membiarkan luka itu mengendalikan kita.


Ada saatnya kita berdamai. Bukan karena kita kalah, tapi karena kita memilih untuk menang dengan cara yang lebih tenang. Dan di titik itulah, hidup terasa sedikit lebih ringan.


Tak perlu memaafkan hari ini,

tapi cobalah beri ruang pada dirimu untuk bernapas tanpa bayangan itu.

Karena hidup terlalu singkat jika hanya dijalani dalam kemarahan,

dan terlalu indah untuk dibiarkan tenggelam dalam luka yang sama.

0 comments:

Posting Komentar