Rapuh

Dalam hidup, setiap manusia pasti pernah merasakan titik paling rapuh dalam dirinya. Momen ketika hati seolah kehilangan daya, pikiran mulai tenggelam dalam bayang-bayang, dan langkah terasa berat meski hanya untuk sekadar berdiri. Kerapuhan itu datang tidak selalu karena kelemahan, tapi karena terlalu lama menahan, terlalu banyak kehilangan, atau terlalu dalam mencintai sesuatu yang akhirnya pergi.


Namun, menjadi rapuh bukan berarti menjadi kalah. Kita sering salah kaprah menganggap rapuh sebagai tanda lemah, padahal ia adalah sinyal bahwa kita pernah merasakan begitu dalam, begitu jujur, dan begitu manusia. Rapuh adalah bagian dari perjalanan, bukan akhir dari segalanya. Ia bukan kuburan kekuatan, tapi ladang tempat kekuatan baru tumbuh perlahan.


Ada orang yang memilih menyembunyikan rapuhnya di balik senyum, ada yang membungkusnya dalam tawa. Tapi semakin kita menolak kerapuhan itu, semakin ia menggema dalam diam. Karena hati yang retak bukan untuk ditutup rapat, melainkan untuk dipeluk dengan keikhlasan. Dan menyembuhkan diri bukan soal seberapa cepat kita bisa move on, tapi seberapa jujur kita menerima bahwa kita sedang terluka.


Tidak semua luka harus diobati dengan kehadiran orang baru. Kadang justru dalam kesendirian yang tenang, kita menemukan kekuatan untuk berdamai. Bukan berarti kita tak pantas mencintai lagi, tapi cinta yang datang setelah patah, harus diterima bukan untuk menggantikan, melainkan untuk menemani. Bukan sebagai tambalan, tapi sebagai teman tumbuh.


Jangan biarkan kerapuhan menjadikan kita seperti kayu tua yang dimakan waktu, retak, lalu hancur perlahan. Jadilah seperti tulang, yang meski patah, punya kemampuan untuk menyambung dirinya sendiri. Ia tidak memburu kekuatan dari luar, tapi membangunnya dari dalam. Dengan kesabaran, dengan waktu, dan dengan pengakuan bahwa luka itu ada, tapi tidak akan menguasai segalanya.


Karena pada akhirnya, yang membuat seseorang menjadi kuat bukan karena ia tidak pernah rapuh, melainkan karena ia pernah rapuh, dan memilih untuk tetap hidup. Ia pernah jatuh, tapi tak berhenti mencoba berjalan. Ia pernah kehilangan, tapi tak berhenti percaya bahwa ada hal baik yang bisa datang kembali.


Dan mungkin, itulah yang disebut penyembuhan, bukan melupakan, tapi menerima. Bukan menggantikan, tapi menumbuhkan.

0 comments:

Posting Komentar