Mengejar Matahari

Dalam hidup, ada hal-hal yang kita tahu sejak awal tak akan bisa digapai. Seperti mimpi yang terlalu tinggi, cinta yang tak mungkin berbalas, atau harapan yang samar di tengah realita yang keras. Namun entah mengapa, kita tetap berjalan ke arahnya. Kita tetap mencoba, seolah percaya bahwa ada makna yang lebih besar dari sekadar hasil akhir.


Matahari, dalam semua keagungannya, tidak pernah bisa disentuh. Ia terlalu jauh, terlalu panas, terlalu mustahil untuk digapai. Namun setiap pagi, kita tetap menatap ke arahnya. Kita tetap menantinya muncul dari balik cakrawala, memberi terang, menghangatkan bumi, dan menjadi simbol harapan baru. Justru karena tahu ia tak bisa digenggam, kita belajar untuk menghargai cahayanya. Dari situ kita paham, bahwa sesuatu yang tak tercapai pun bisa tetap memberi manfaat, seperti halnya perjuangan yang tak berbuah, namun meninggalkan pelajaran dan kekuatan.


Mengejar matahari bukan soal kemenangan, tapi tentang keberanian untuk bergerak. Tentang memilih untuk tidak diam, meski dunia berkata “itu sia-sia”. Tentang menyadari bahwa kegagalan bukan akhir dari segalanya, dan bahwa ada cahaya yang bisa kita bawa pulang, meski mataharinya tak pernah bisa disentuh.


Kadang, kita terlalu sibuk menghitung hasil, hingga lupa bahwa proses pun punya nilainya sendiri. Kita lupa bahwa keberanian untuk memulai, bahkan tanpa jaminan berhasil, adalah bentuk kekuatan yang paling tulus. Dan dalam dunia yang serba logis ini, menjadi seseorang yang tetap berani berharap adalah tindakan yang luar biasa indah.


Karena pada akhirnya, bukan hanya tentang apa yang berhasil kita raih, tapi tentang apa yang kita berani kejar, meski tahu tak tergapai.


Tak semua yang dikejar harus tergapai.
Matahari pun jauh di langit,
tapi karena sinarnya, hidup tetap berarti.
Begitu pula mimpi,
meski tak sampai, keberanian mengejarnya
telah menyalakan cahaya dalam diri...

0 comments:

Posting Komentar