Dalam keseharian, kita sering memaknai warna sebagai representasi dari suasana. Warna kuning, misalnya, sering dianggap sebagai lambang kebahagiaan, cerah, hangat, dan penuh semangat. Warna ini mengingatkan kita pada matahari pagi, tawa anak kecil, atau semangat baru yang muncul di awal hari. Tapi bagaimana dengan warna biru? Bukankah langit yang cerah identik dengan biru? Hari yang cerah, suasana yang tenang, pikiran yang lapang. Semuanya kerap digambarkan dengan langit biru yang bersih. Maka muncul pertanyaan: mengapa justru biru yang menjadi simbol kesedihan?
Ungkapan seperti “I’m feeling blue” dalam bahasa Inggris jelas menunjuk pada suasana hati yang sedang murung atau sedih. Padahal, jika kita melihat warna biru secara visual, ia tak memberi kesan suram. Biru muda bahkan terasa segar dan menenangkan. Namun, warna menyimpan makna lebih dalam dari sekadar tampilan. Ia berbicara melalui sejarah, budaya, dan perasaan yang sulit dijelaskan dengan logika sederhana.
Konon, ungkapan “feeling blue” berasal dari tradisi pelaut di abad ke-18. Saat seorang kapten kapal wafat dalam pelayaran, awak kapal akan pulang ke pelabuhan dengan mengibarkan bendera biru dan mengecat garis biru di badan kapal sebagai tanda duka. Dari sanalah biru mulai diasosiasikan dengan kehilangan dan kesedihan. Makna ini kemudian melekat dalam budaya populer dan terus diwariskan dari generasi ke generasi.
Secara psikologis, biru memang punya sisi melankolis. Warna ini menenangkan, tapi juga sunyi. Ia mampu menciptakan suasana reflektif, seperti duduk sendirian di malam hari sambil merenung dalam diam. Biru tidak keras, tidak panas, tidak mendesaki. Ia hadir dengan tenang, memberi ruang bagi pikiran untuk berjalan sendiri. Karena itu, biru juga sering dihubungkan dengan kesendirian dan kesepian. Bukan karena warnanya menyedihkan, tapi karena ia memberi tempat untuk rasa-rasa yang tak ingin terburu-buru diselesaikan.
Namun biru bukanlah semata-mata lambang duka. Ia juga bisa menjadi simbol harapan yang kalem, ketenangan yang dewasa, dan kebahagiaan yang tidak meledak-ledak. Seperti langit yang cerah tapi tidak panas, seperti laut yang luas tapi menenteramkan. Biru punya dua sisi. Ia bisa menenangkan, bisa juga melankolis. Bisa jadi cerah, bisa pula sendu. Maka, saat seseorang berkata “aku merasa biru,” barangkali ia sedang merasa kosong, atau mungkin sedang mencoba menerima kesedihan dengan cara yang tenang.
Biru tidak selalu berarti air mata, tapi ia memberi ruang bagi perasaan itu untuk hadir, tanpa harus merasa lemah. Dan justru di situlah keindahannya. Ia membiarkan kita merasa, tanpa harus menjelaskan semuanya.
0 comments:
Posting Komentar