Prolog...
Ketika ijab kabul itu terdengar, hatinya bergetar. Setengah jiwanya seakan tak pernah kembali dari pelayaran yang tak berujung. Wanita yang selalu mencintainya, yang menemaninya dalam sepi dan harap, kini pergi. Bukan ke tempat yang jauh, tapi ke hati yang dianggapnya lebih tepat.
Namun semua itu terasa seperti pengabaian—bukan sekadar pada dirinya, tapi juga pada kenangan dan perasaan yang pernah mereka jaga bersama. Mungkin ini bukan sekadar perpisahan, tapi pengkhianatan yang diam-diam membekas.
Pria itu perlahan menjauh dari rumah yang pernah menjadi persinggahan, tempat ia menggantungkan harap dan menyimpan mimpi. Ia pernah percaya rumah itu akan menjadi tempat berpijak. Tapi di sanalah letak kekeliruannya.
Cinta yang besar tanpa rencana yang nyata hanya akan menjadi untaian puisi—dan takkan pernah menjadi rumah.
Di persimpangan antara cinta dan kenyataan, manusia sering kali dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah. Salah satu contohnya yang paling sering terjadi—dan paling menyakitkan—adalah ketika seorang wanita memutuskan untuk meninggalkan pria yang telah menemaninya bertahun-tahun demi pria lain yang lebih mapan secara ekonomi.
Banyak yang buru-buru menilai keputusan itu sebagai bentuk pengkhianatan atau egoisme. Tapi jika kita melihat lebih dalam, keputusan semacam itu tak selalu sesederhana benar atau salah, setia atau tidak setia. Ada satu kata yang perlu kita pahami sebelum menghakimi: realistis.
Apa itu sikap realistis?
Bersikap realistis berarti mengambil keputusan berdasarkan kondisi nyata, bukan hanya berdasarkan harapan, perasaan, atau impian. Dalam konteks hubungan, realistis berarti menyadari bahwa cinta, betapapun besarnya, tak akan bisa bertahan tanpa fondasi yang kuat—termasuk kesiapan finansial, emosional, dan mental.
Menikah bukan hanya tentang perasaan. Ia adalah soal hidup bersama: biaya, tempat tinggal, masa depan anak, kebutuhan sehari-hari. Maka ketika seorang wanita memilih pria yang secara ekonomi lebih siap, ia tidak semata-mata memilih uang, tapi mungkin ia sedang memilih rasa aman. Dan rasa aman adalah kebutuhan yang nyata, bukan keserakahan.
Apakah itu berarti dia egois?
Dalam pandangan si pria yang ditinggalkan, tentu keputusan itu bisa terasa sangat egois. Ia sudah berjuang, menemani, mencintai dalam kesederhanaan, bahkan mungkin membangun banyak mimpi bersama. Tapi semua itu seperti tak berarti apa-apa ketika ia kalah oleh orang yang datang dengan kesiapan materi. Luka itu nyata. Kekecewaan itu wajar.
Namun dari sisi wanita, keputusan itu mungkin adalah bentuk pertahanan diri. Ia memilih jalan yang menurutnya paling masuk akal untuk hidup yang panjang dan penuh ketidakpastian. Apakah itu egois? Mungkin. Tapi terkadang, manusia harus memilih untuk selamat lebih dulu, sebelum bisa menyelamatkan perasaan orang lain.
Jadi, apakah pria itu harus realistis juga?
Jika ingin menjawab dengan jujur: ya.
Karena cinta saja tidak akan cukup. Janji masa depan yang belum terbukti bisa jadi terdengar indah, tapi tidak meyakinkan. Sementara seseorang yang sudah bisa memberikan bukti nyata—meski tanpa janji puitis—lebih mudah untuk dipercaya.
Bukan berarti pria harus langsung mapan. Tapi setidaknya ia harus menunjukkan arah, visi, dan kerja nyata menuju kemapanan itu. Karena di ujung hari, cinta yang besar tanpa rencana nyata hanya akan menjadi puisi, dan takkan pernah menjadi rumah.
Inilah kenyataan yang pahit namun tak terhindarkan: tidak semua cinta akan berujung bahagia, terutama jika cinta itu berjalan sendirian, tanpa ditemani persiapan hidup yang nyata. Kadang yang bertahan justru harus ditinggalkan, bukan karena kurang mencintai, tapi karena belum siap untuk dicintai sepenuhnya dalam dunia nyata.
Dan mungkin, di sana letak luka terdalam—bukan pada perginya seseorang, tapi pada kenyataan bahwa kita belum cukup siap untuk membuatnya bertahan.
Terkadang, cinta tak selalu menang, jika tidak disertai kesiapan.

0 comments:
Posting Komentar