Dunia Itu Jahat atau Baik? Sebuah Renungan tentang Ketimpangan, Usaha, dan Syukur Paling Sunyi.

 




Apakah Dunia Itu Baik atau Jahat?


Pertanyaan ini nggak punya jawaban mutlak. Karena kenyataannya, dunia bisa terasa sangat baik untuk orang-orang yang beruntung—yang dari awal hidupnya sudah punya pijakan yang nyaman. Tapi di sisi lain, dunia juga bisa terasa kejam dan berat bagi mereka yang sejak awal harus bertarung dengan kenyataan.

Beberapa orang bilang, "dunia itu baik untuk orang yang banyak bersyukur." Tapi tidak semua orang bisa langsung menerima itu. Karena saat seseorang sedang dihantam oleh cobaan bertubi-tubi, ketika hidup terasa tidak memberi ruang bernapas, bersyukur bukanlah hal yang mudah.

Justru, dalam kondisi seperti itu, orang lebih memilih untuk bertahan hidup dulu. Dan dalam upaya memperbaiki nasibnya—dengan segala keringat dan luka yang ditanggung—sebenarnya dia sudah bersyukur. Hanya saja bukan lewat kata-kata, tapi lewat usaha.

Karena usaha adalah bentuk syukur yang paling sunyi dan nyata.

Ia tidak berisik, tidak dipamerkan, dan sering kali tidak dihargai. Tapi ia ada. Ia muncul dalam bentuk orang yang tetap bangun pagi meski hatinya rapuh. Ia tampak dalam sosok yang tetap bekerja keras walau dihantam penolakan berkali-kali. Ia hidup dalam mereka yang diam-diam menabung dari penghasilan kecilnya, bukan untuk kemewahan, tapi untuk sekadar bertahan.

Contohnya sederhana:

Seorang ibu yang jualan nasi uduk tiap subuh dengan tubuh letih, bukan karena hidupnya sempurna—tapi karena ia masih percaya pada harapan, meski tipis. Seorang pemuda yang menolak menyerah walau pekerjaannya tak sesuai impian, tapi tetap dijalani demi keluarga. Semua itu adalah syukur—tanpa perlu diucap, tapi dilakukan.


Lalu bagaimana dengan dunia?


Kadang dunia memang terasa jahat.


Bayangkan seorang anak kecil yang mengidap kelainan jantung sedang mengantre di rumah sakit, ditemani ibunya yang kelelahan. Tubuh kecil itu pucat, matanya sayu. Di saat yang sama, lewat seorang ibu hamil, mengelus perutnya sambil berkata “amit-amit”, lalu memandang sejenak ke arah anak itu dengan raut takut yang disamarkan.

Satu momen, dua dunia: satu dipenuhi harapan, satu lagi digelayuti ketakutan. Yang satu berharap anaknya sehat, yang lain berharap anaknya tetap hidup.

Apa yang bisa dikatakan pada si ibu yang anaknya sakit? Apakah cukup hanya berkata, “bersyukurlah”?

Karena bagi dia, dunia tidak baik-baik saja. Dunia menciptakan luka di usia yang bahkan belum sempat mengenal apa itu bahagia.


Di titik ini, kita sadar:

Dunia bukan tempat yang adil.

Ada yang dilahirkan dengan keberuntungan, ada pula yang sejak awal harus menanggung rasa sakit. Maka dari itu, bukan tempat kita untuk menghakimi bagaimana orang menjalani kesedihannya, atau menuntut mereka untuk tetap tersenyum.



Kesimpulan:

Dunia itu tidak sepenuhnya baik atau jahat. Dunia hanya berjalan. Yang membuatnya terasa berbeda adalah dari mana kamu melihat, dan seberapa berat kamu memikulnya. Maka ketika seseorang tetap berusaha, tetap bangkit meski luka, itu adalah bentuk syukur paling jujur—dan paling sunyi—yang bisa dimiliki manusia.

Dan kadang, memahami penderitaan orang lain adalah satu-satunya cara kita bisa tetap manusia.

0 comments:

Posting Komentar